Penyempurna Patahku
Di saat kamu membaca ini, mungkin bagimu sudah tiada gunanya lagi. Bahwasannya kamu yang telah leluasa, yang dulu begitu kuasa kutempatkan di semua perayaan bahagia kita, kini tampak seperti tidak terjadi apa-apa.
Foto kita yang memasang lembaran penuh tawa, akhirnya menjadi pengenang waktuku ketika aku sadar---dekatnya kita tak lagi seprti yang kulihat di dalamnya. Serta senyum-senyum itu, barangkali di matamu sudah tak tergambarkan kehangatan yang pernah kita teguk bersama.
Beralih ke tempat yang pernah sama-sama kita langkahkan kaki, kedai roti itu---ah, ada rasa sesak di dada yang tak bisa aku jelaskan. Aku sempat tak percaya rasanya baru kemarin kita menghabiskan waktu berdua disana. Bahkan, kau genggam aku erat seraya tak membiarkan siapapun nantinya merebut hati ini. Namun, yang terlukis disana hanyalah ingatanku. Kenyataannya, kau tetap pergi.
Ada konsep yang harus kujalani selepas berakhirnya kita; Kau bergerak mendapati lagi dirimu sebagaimana mestinya, memulai hal-hal baru dengan seseorang yang entah siapa, membangun kedekatan erat dan saling mengisi bahagia. Bahkan, kau lebih cepat menemukan pundak baru untuk terus berada bersamamu, sampai kemudian sudah tak adalagi aku di antar ucapan-ucapanmu.
Kau tahu?
Kini aku telah mendapatkan konsep itu---yang selama ini aku bayangkan telah menjadi kenyataan. Perihal seseorang yang sangatku cinta kini telah berada dipelukan orang lain---dan ia lebih bahagia.
Sebenarnya tak ada yang salah, perihal kau mencari yang jauh lebih baik itu adalah hal wajar. Hanya saja, ini terlalu menyesakkan dada. Lebih sakit dari dihujani ribuan meteor dari angkasa. Lebih perih dari luka yang masih basah, lalu ditikam belati yang begitu panas.
Tetapi aku turut ikut bahagia merayakan bahagianya dirimu dengan dia yang entah siapa. Sekarang, aku tak lagi mendengar musik-musik tentang dirimu, aku tak menangisi hangat pelukmu dan kekar bahumu yang tak akan lagi kumiliki. Aku tak bersedih ataupun terlihat menyedihkan sama sekali.
Aku tersenyum, mensyukuri bahwa kau tak perlu repot lagi denganku. Kau tak perlu meneleponku saat lelah melandamu di penghujung malam. Kau tak perlu membalas pesan-pesanku yang kebanyakan berisi tentang betapa inginnya aku di rindui olehmu. Kau tak perlu melihat wajahku di tengah malam saat lelah melandamu. Dan kau tak perlu lagi menyanyikan banyak lagu agar aku tertidur.
Aku tersenyum, menatap foto baru di sosial mediamu. Menatap senyummu yang tampak tak terbebani sama sekali. Kau tak perlu menyisihkan akhir minggumu untuk menonton film bersamaku. Kau tak perlu mengiyakan ajakanku untuk makan kentang di mc donald favoritku atau menjadi bahan percobaan hasil masakan baruku. Bahkan, kau tak perlu lagi membalas pelukanku.
Malam setelah kamu pergi, segalanya terasa lebih hancur dari seharusnya. Ada rasa yang ingin membuncah, ada air mata yang hampir tertumpah.Namun, aku tak membiarkan hatiku menjerit sakit, aku tak menulis bait-bait luka yang pahit, aku tak membiarkan diriku untuk kesekian kalinya menahan lenganmu atau menangis tragis memohon rasa iba akan datangnya dirimu.
Terimakasih, telah menjadi penyempurna patahku yang begitu hebat. Ketika air mata berubah menjadi doa yang paling ampuh untuk segala luka. Sebab kau perlu tahu, merelakan bukan tentang seberapa kuat aku melihatmu tertawa bersama. Namun, setabah apa hatiku menyadari bahwa tanpaku hidupmu jauh lebih bahagia.
Foto kita yang memasang lembaran penuh tawa, akhirnya menjadi pengenang waktuku ketika aku sadar---dekatnya kita tak lagi seprti yang kulihat di dalamnya. Serta senyum-senyum itu, barangkali di matamu sudah tak tergambarkan kehangatan yang pernah kita teguk bersama.
Beralih ke tempat yang pernah sama-sama kita langkahkan kaki, kedai roti itu---ah, ada rasa sesak di dada yang tak bisa aku jelaskan. Aku sempat tak percaya rasanya baru kemarin kita menghabiskan waktu berdua disana. Bahkan, kau genggam aku erat seraya tak membiarkan siapapun nantinya merebut hati ini. Namun, yang terlukis disana hanyalah ingatanku. Kenyataannya, kau tetap pergi.
Ada konsep yang harus kujalani selepas berakhirnya kita; Kau bergerak mendapati lagi dirimu sebagaimana mestinya, memulai hal-hal baru dengan seseorang yang entah siapa, membangun kedekatan erat dan saling mengisi bahagia. Bahkan, kau lebih cepat menemukan pundak baru untuk terus berada bersamamu, sampai kemudian sudah tak adalagi aku di antar ucapan-ucapanmu.
Kau tahu?
Kini aku telah mendapatkan konsep itu---yang selama ini aku bayangkan telah menjadi kenyataan. Perihal seseorang yang sangatku cinta kini telah berada dipelukan orang lain---dan ia lebih bahagia.
Sebenarnya tak ada yang salah, perihal kau mencari yang jauh lebih baik itu adalah hal wajar. Hanya saja, ini terlalu menyesakkan dada. Lebih sakit dari dihujani ribuan meteor dari angkasa. Lebih perih dari luka yang masih basah, lalu ditikam belati yang begitu panas.
Tetapi aku turut ikut bahagia merayakan bahagianya dirimu dengan dia yang entah siapa. Sekarang, aku tak lagi mendengar musik-musik tentang dirimu, aku tak menangisi hangat pelukmu dan kekar bahumu yang tak akan lagi kumiliki. Aku tak bersedih ataupun terlihat menyedihkan sama sekali.
Aku tersenyum, mensyukuri bahwa kau tak perlu repot lagi denganku. Kau tak perlu meneleponku saat lelah melandamu di penghujung malam. Kau tak perlu membalas pesan-pesanku yang kebanyakan berisi tentang betapa inginnya aku di rindui olehmu. Kau tak perlu melihat wajahku di tengah malam saat lelah melandamu. Dan kau tak perlu lagi menyanyikan banyak lagu agar aku tertidur.
Aku tersenyum, menatap foto baru di sosial mediamu. Menatap senyummu yang tampak tak terbebani sama sekali. Kau tak perlu menyisihkan akhir minggumu untuk menonton film bersamaku. Kau tak perlu mengiyakan ajakanku untuk makan kentang di mc donald favoritku atau menjadi bahan percobaan hasil masakan baruku. Bahkan, kau tak perlu lagi membalas pelukanku.
Malam setelah kamu pergi, segalanya terasa lebih hancur dari seharusnya. Ada rasa yang ingin membuncah, ada air mata yang hampir tertumpah.Namun, aku tak membiarkan hatiku menjerit sakit, aku tak menulis bait-bait luka yang pahit, aku tak membiarkan diriku untuk kesekian kalinya menahan lenganmu atau menangis tragis memohon rasa iba akan datangnya dirimu.
Terimakasih, telah menjadi penyempurna patahku yang begitu hebat. Ketika air mata berubah menjadi doa yang paling ampuh untuk segala luka. Sebab kau perlu tahu, merelakan bukan tentang seberapa kuat aku melihatmu tertawa bersama. Namun, setabah apa hatiku menyadari bahwa tanpaku hidupmu jauh lebih bahagia.
Komentar
Posting Komentar