Perihal Aku

Apa kabar? Terlalu kakukah bila aku membuka tulisan ini dengan bertanya kabarmu? Namun bila bertanya tentang kesungguhan, aku benar-benar ingin tahu bagaimana kabarmu sekarang, aku benar-benar sangat ingin tahu keseharianmu sekarang. Baik-baik kah kamu disana?

Aku ingin sekali menjelaskan kegelisahan yang tak kunjung usai, bahkan hingga saat aku menulis ini. Sungguh sudah membatu rasamu, sudah pudar pula dibawa sang angin malam. Katamu kamu ingin menikmati kesendirianmu tanpa ada aku di dalamnya. Maka sejak saat itu aku selalu mengurungkan niat bilamana hasrat ingin mengirimkanmu beberapa pesan. Bahkan kontakmu sudah tidak ada diponselku.

Untuk kesekian kali aku mohon maaf bila ini memang salahku, mungkin aku membosankan, atau memang itu hanya alasanmu, entahlah. Aku minta maaf bila banyak mimpi yang aku sia-siakan begitu saja, bila harap yang kuhancurkan begitu banyak, bila rinduku ini mengusik waktumu. Andai kamu bisa lebih mengerti kondisiku, betapa kalutnya aku, betapa redamnya aku, hingga tak sengaja bibir ini berucap kata yang sejujurnya tidak pernah dari hati.

Aku pernah rela menjadi apa saja untukmu, pernah rela mengerti setiap kondisi yang kamu alami, pernah rela berubah untukmu. Menjadi kuning atau kelabu, menjadi sandal atau sepatu, menjadi awan atau guruh, seperti maumu. Kamu tetap menganggapku bukan apa-apa,  dan bukan siapa-siapa.

Ini adalah perihal aku---yang mencintaimu sepenuh hati, tapi kau tak pernah sekalipun mencoba untuk menghargai.  Aku tak sepandai kamu perihal melupakan. Aku hanya berusaha semampuku mengobati luka. Aku hanya menyerah setelah semua sikapmu membuatku lelah. Sebab padamu, semua rasaku berakhir sia-sia

Tujuan tulisan ini sederhana saja, aku hanya ingin melegakan segala bentuk isi kepala dan dadaku, yang kian sesak sepanjang hari, manakala mataku masih saja melirik boneka pemberianmu. Aku masih mencari namamu di kolom pencarian, membuka obrolan, mengetikan beberapa pesan, namun tak pernah sampai hati mengirimnya. Memang, aku memang pecundang.

Aku tutup tulisan ini, bukan karena aku kehabisan kata untuk dituliskan, namun aku yang kehabisan nyali untuk menuliskannya. Membiarkan semua orang tahu betapa kacaunya aku ketika menulis ini, di tiap spasinya berharap agar aku bisa terlepas dari masa-masa ini, dan menjadi aku seperti aku empat tahun yang lalu.

Komentar